Kalender

Selamat datang di Website Kantor Urusan Agama ( KUA ) Kecamatan Wanayasa Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat

Terapi Al-Qur'an dalam Keistiqomahan Iman

Di Upload Oleh : KUA-Wanayasa

Update : 01 Juni 2010

Mewujudkan muslim yang muttaqin bukanlah sesuatu hal mudah dilaksanakan, karena banyak indikator yang harus dipupuk dan dijaga yang turut serta mempengaruhi pluktuasinya keimanan dan ketaqwaan seseorang. Indikator-indikator tersebut, ada yang berhubungan dengan dimensi ritual, ada pula yang berhubungan dengan dimensi sosial. Karena itu pula ada paramater kesalehan ritual dan ada kesalehan sosial yang satu sama lainnya harus seimbang dalam kehidupan seseorang. Jika hanya satu parameter yang dilakukan dalam kehidupan ini,


bisa jadi orang tersebut tidak memiliki keseimbangan hidup dalam menjalankan kehidupan ini.Kaitannya dengan hal tersebut, Al Qur’an mengecam keras orang-orang yang hanya peduli dengan tugas-tugas ritual, tetapi mengabaikan dimensi-dimensi sosial. Sebaliknya pula orang yang peduli dengan masalah sosial, tetapi apatis terhadap persoalan-persoalan ritual keagamaan dianggap beramal tendensius. Dua-duanya ada tuntutan proporsional dan dilakukan dengan kualitas terbaik dan amal terbaik.

Terbaik dalam konsep Islam tidak hanya produk atau hasil kerjaan yang dilihat, tetapi juga harus dilihat dalam “proses” dari awal hingga akhir sangat menentukan, karena itu ada pernyataan dalam sebuah hadits Nabi yang menjelaskan bahwa "Banyak amalan-amalan yang secara kasat mata seperti amal keakhiratan, tetapi justru menjadi amal keduniawian disebabkan niatnya tidak terpuji" Misalnya membantu, menyumbang seolah amal akhirat, tetapi niatnya cari popularitas, maka jadilah amal popularitas. “Sebaliknya banyak pula amal-amal yang kelihatannya keduniawian, tetapi justru menjadi amal keakhiratan karena motivnya yang terpuji dan niatnya baik”.

Seperti mengatur lalu lintas, memperindah taman (tempat tinggal) interior maupun eksterior, atau bekerja mencari nafkah, kerja bakti dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Islam melihat kebaikan dari dua dimensi yakni substansi dan proses.

Membangun masjid itu baik, membangun sarana umum itu baik, tetapi jika proses penggalangan dananya tidak memperhatikan dan memperdulikan rambu-rambu, maka hasilnya menjadi tidak bernilai dimata Tuhan. Apalagi niatnya hanya ingin bermegah-megahan dan mencari popularitas. Yang membimbing proses adalah iman dan ilmu, sedang yang menentukan jelek-bagusnya substansi adalah norma syari’at dan norma sosial.

Kemampuan syetan menggoda manusia pada proses mencapai tujuan sangat kuat, misalnya tidak mungkin orang yang biasa shalat - lalu dalam sekejap ia meninggalkan begitu saja shalatnya, tetapi syetan berusaha turut campur dalam pencapaian kualitas shalat, sehingga orang yang sedang shalat menjadi tidak khusyu', kabur pikirannya ingat ini dan ingat itu yang dapat menyebabkan tidak sadar apa sebenarnya yang dibaca. Karena khusyu’ itu adalah apa yang diucapkan oleh mulut diikuti oleh hati bahkan yang lebih bagus lagi mengerti dan memahami apa yang diucapkan oleh mulut. Ketika orang berzakat kepada orang yang berhak menerimanya, jika muncul dibenaknya itu ada keinginan untuk disanjung dan dipuji orang bahwa ‘dirinya adalah orang dermawan’ suka membantu orang yang susah dan seterusnya, maka produk ini sudah tercampuri dalam prosesnya oleh syetan.

Orang yang berkeyakinan bahwa kejujuran atau sifat jujur itu baik, tidak mungkin berubah pikiran dengan mengatakan bahwa kejujuran atau sifat jujur itu tidak baik, tetapi dalam perjalanan prosesnya syetan turut campur agar orang berpikir untung ruginya jika berbuat jujur. Inilah bujuk rayu syetan yang harus diwaspadai.
Untuk itu, Al Qur’an membagi terapi agar orang-orang baik, enggan melakukan keburukan. Firman Allah surat Huud ayat 114, yang artinya: “Bahwa kebaikan-kebaikan berlapis yang dilakukan seseorang akan dapat membuang jauh-jauh perbuatan jelek dan kemauan melakukannya.” Jadi kalau kita dan generasi kita ingin terhindar dari hal-hal buruk, maka mulailah biasakan diri dengan melakukan hal yang baik-baik, karena kebaikan dalam Islam datang dari dua arah, yaitu: melakukan yang diperintahkan dan menghindari yang dilarang. Menghindari yang dilarang sebagai kebaikan pasif, tidak bisa tiba-tiba melainkan harus berbasis dulu dengan kebaikan. Terapi yang lain adalah memahami sedalam-dalamnya hukum aksiomatik bahwa orang yang menanam kebaikan akan memetik kebaikan dan orang yang menanam keburukan akan memetik keburukan. Friman Allah dalam surat Al Isra ayat 7, yang artinya : “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri"

Namun demikian, perlu disadari bahwa dibalik hukum di atas, ada ujian-ujian lian sebagai wahana peningkatan derajat seseorang ke arah yang lebih tinggi dan ada pula yang disebut istidraj yakni ujian Tuhan dengan kebaikan pada orang-orang durhaka. Karena itu tidak heran, banyak orang-orang dholim dan durhaka tetapi tetap segar bugar dan bahkan dapat ni’mat dan rizki lebih banyak dari pada orang-orang baik. Orang-orang yang beriman melihat kondisi tersebut tidak boleh iri dan dengki, karena sifat iri dan dengki berarti suatu kegagalan iman.
Orang beriman harus istiqamah, istiqamah dalam melakukan perbuatan yang baik dan istiqamah untuk tidak melakukan hal-hal perbuatan buruk atau perbuatan yang dilarang oleh ajaran agama. Pertanggungjawaban atas keimanan seseorang kepada Allah, lakukanlah dengan seadil-adilnya sesuai porsi dan posisi masing-masing. Ada porsi tingkat pimpinan, ada porsi anak bawahan, ada porsi sistem dan ada porsi kebijakan dan seterusnya. Al Qur’an telah menantang orang-orang yang beriman yang imannya setengah-setangah dengan firmanNya dalam surat Al Baqarah ayat 85, yang artinya: “Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan inkar terhadap sebahagian yang lain" Jadi istiqomah adalah sutau tuntutan untuk diwujudkan dalam kehidupan melalui pendidikan dan proses yang panjang. Komitmen iman harus diikuti dengan sikap istiqamah (konsisten) dan kontinuitas agar ketegaran dan ketentraman dapat diraih baik dalam kehidupan dunia maupun dalam kehidupan akhirat. Allah telah menjanjikan dalam Al Qur'an surat Fushilat ayat 30, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): "Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu" Istiqomah (konsisten) terkait dengan sikap beragama yang lain seperti, kuatnya keyakinan, kesabaran, ketabahan menghadapi segala ujian baik senang maupun susah dan tawakkal kepada Allah SWT.


Sumber : Bimas Islam Kemenag RI

Informasi Penting



Syi'ar Islam


"Sesungguhnya Allah senang, jika salah seorang di antara kamu me­ngerjakan suatu pekerjaan yang dilakukan secara profesional." (HR Baihaqi)

Kolom Penghulu

Tujuan pernikahan menurut agama islam antara lain :
a. Menyempurnakan pengamalan agama
b. Menjaga kehormatan
c. Menggapai ketenangan, kecintaan dan kasih sayang
d. Melestarikan keturunan

Kolom Penyuluh


Rasulullah SAW: Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan dan tidak menerima amal perbuatan tanpa iman (Atthabrani)

Pengunjung Online

Total Pengunjung


hit counter